Welcome!

Selamat datang di blog kami....

Assalamu'alaikum.... n_n
Selasa, 15 Desember 2009

Euthanasia dan Islam

Euthanasia disebut juga qatl ar-rahmah atau taisir al maut. Artinya, tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan pasien, baik dengan cara positif maupun negatif.

Euthanasia terbagi menjadi dua, yaitu euthanasia positif (taisir al maut al fa'al) dan euthanasia negatif (taisir al maut al munfa'il).

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian pasien, karena kasih sayang, yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Contoh kasus:

Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus. Contoh kasus:

Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati --padahal masih ada kemungkinan untuk diobati-- akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.

Memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara' sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, penyengatan listrik, ataupun menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada pasien dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (euthanasia negatif), hal itu berkisar pada "menghentikan pengobatan" atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan tenaga medis bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada pasien, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:

"'Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.' Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. 'Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu, doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.' Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya."

Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam "Kitab at-Tawakkul" dari Ihya' Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.

Dalam hal ini, apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh dengan sunnah Allah ta'ala, maka pengobatan adalah hal yang wajib dilakukan.

Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma'ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para tenaga medis-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukosa dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.

Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang) karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari tenaga medis. Namun, tenaga medis hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah sehingga tidak dikenai sanksi.

Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara' --bila keluarga penderita mengizinkannya-- dan tenaga medis diperbolehkan melakukannya untuk meringankan pasien dan keluarganya, insya Allah.

Sumber:

Ebook Fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Al Qardhawi. 2006. Gema Insani Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar